Shalat Khusyu’ Wal Kudhu’
Shalat adalah hubungan langsung antara seorang hamba dengan Khaliqnya.
Khusyu adalah kosentrasi pikiran, hatin dan perasaan serta seluruh anggota
badan tawajjuh kepada Allah Subhana Wa ta’ala. Dan Kudhu adalah merendahkan
diri sebagai tanda kepatuhan, tunduk terhadap keagungan Allah Subhana Wa
Ta’ala.
Timbulnya perasaan diawasi oleh Allah Subhana Wa Ta’ala, merasakan
keagungan-Nya, mensyukuri belas kasih-Nya, merenungi makna Al Qur’an yang sedang
dibaca dan didengarkan, memahami dzikir-dzikir yang diucapkan termasuk tasbih,
tahmid dan takbir. Seolah-olah sedang berhdapan langsung dengan Allah Subhana
Wa Ta’ala untuk melaporkan semua amalan yang telah dan sedang dikerjakan serta menyampaikan
harapan-harapan kepada-Nya atas ibadah yang dilakukan.
Khusyu ibarat antena pada pesawat televisi. Jika antenanya rusak, maka
gambar dan suaranya tidak jelas. Demikian pula denga shalat yang tidak khusyu
maka arah dan tujuannya tidak jelas.
فَوَ يْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَ ٥ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَو تِحِمْ سَا هُوْنَ ٥ الَّذِيْنَ هُمْ يُرَآءُ وْنَ ٥
Fawailul lilmusholliin 0
alladziyna hum ang sholaatihim saa huwn 0 alladziyna hum yuraaa uwn
“Maka celakalah orang-orang yang
shalat 0 yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang shalatnya tidak
berpengaruh baginya 0 Orang yang riya (tidak ikhlas amal ibadahnya)“ (Qs. Al
Ma’un : 4-6)
Shalat kudhu shalat dengan tenang serta tidak melakukan gerakan lain
selain yang diperintahkan dalam rukun dan tertib yang dicontohkan oleh Nabi
Shallallahu Alaihi Wa Sallam, pada awal waktu di masjid bagi laki-laki dan dengan
berjamaah.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,
لَا صَلَا ةِ لِجَارِالْمَسْجِـدِاِلَّا فِى الْمَسْجِـدِ
Laa sholaati lijaril masjidi
illaa fil masjid
“Tidak ada sholat bagi orang
yang bertetangga dengan masjid kecuali shalat di masjid“ (Hr. Duruqhutni)
Ketika Ummi Maktum Radhiallahu Anha meminta izin kepada Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wa Sallam untuk shalat fardhu di rumah, sebab jarak rumahnya
jauh, matanya buta dan usianya sudah tua, lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa
Sallam bertanya, “apakah engkau mendengar suara adzan di rumahmu?” Ummi Maktum
Radhiallahu Anha menjawab , “ya Rasulullah, aku mendengar adzan.” Lalu
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,
لَااَجِـدُلَكَ رُخْصَةً
Laa ajidulaka rukhshah
“Tidak ada rukhshah bagimu
meninggalkan shalat berjamaah“ (Hr. Ibnu Mundzir)
Shalat adalah amalan yang pertama kali dipersiksa oleh Allah Subhana
Wa Ta’ala jika Shalatnya baik, maka segala amalan yang lain akan menjadi baik,
tetapi jika shalatnya buruk, maka semua amalannya tidak akan diterima. Shalat
adalah ibarat kepala pada tubuh. Jika manusia tanpa kaki atau tangan disebut
cacat, tapi tanpa kepala disebut orang mati.
Ketika shalat, hati hanya condong kepada Allah Subhana Wa Ta’ala,
menghadirkan sifat ihsan di dalam hati yakni merasa selalu diawasi, didengar
dan dilihat oleh Allah Subhana Wa Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,
اَنْ تَعْبُـدَاللهَ كَـاَنَّكَ تَرَاهُ فَـاِنْ لَّمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَـاِنَّهُ يَـرَاكَ
Angta’budallaaha ka annaka
taroohuu faillam takung taroohuu fa innahu yarooka
“Menyembah Allah seolah-olah
engkau melihat Dia. Walaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah
melihat engkau“ (Hr. Bukhari-Muslim)
Demikian pula di luar shalat selalu membawa ketaatan di dalam shalat
ke dalam kehidupah sehari-hari. Apabila di dalam shalat saja hati ini condong
kepada makhluk, apalagi ketika di luar shalat. Tanda orang yang cinta dunia
adalah mengingat dunia dalam shalat.
Orang yang taat adalah orang yang senantiasa berdzikir kepada Allah
Subhana Wa Ta’ala. Dzikir yang sempurna ada di dalam shalat. Seluruh anggota
badan harus mengikuti kehendak Allah Subhana Wa Ta’ala dan Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wa Sallam. Bahkan sebelum shalat diperintahkan untuk
mentawajjuhkan diri hanya kepada Allah Subhana Wa Ta’ala dengan menghadirkan
keagungan-Nya di dalam hati,
اِنَّنِيْ اَنَااللهُ لَآاِلَـهَ اِلَّآاَنَافَاعْبُدْنِى وَاَقِمِ الصَّلَوةَ لِذِكـْرِىْ
Innaniiy anallaahu laaa ilaaha
illaaa anaa fa’budnii wa aqimish shalaata lidzikri
“Sesungguhnya akulah Allah,
tidak ada yang berhak disembah selain aku dan dirikanlah shalat untuk
mengingat-Ku“ (Qs. Thaha : 14)
Hatim Al Asham Rahmatullah Alaih ketika ditanya tentang shalatnya, ia
menjawab, “ Saya bertakbir dengan merenungkan hakikatnya, saya membaca Al
Qur’an dengan tartil, saya ruku dan sujud dengan merasa rendah seakan melihat
jannah di mata kanan saya dan neraka di mata kiri saya, ka’bah berada diantara
kening saya. Kaki saya seakan berpijak dia ats titian shirath, sehingga saya
tak mampu menggerakannya sedikit saja kaki saya. Saya anggap shalat ini yang
terakhir dalam hidup saya, kemudian saya mengucapkan salam ke kanan dan ke
kiri, saya tidak tahu apakah Allah Subhana Wa Ta’ala menerima shalat saya ini ?
ataukah Dia justru berkata, lemparkan shalat itu kewajah orang itu seperti kain
buruk.
Para sahabat Radhiallahu Anhum menyelesaikan masalah atau menunaikan
hajat dengan sholat. Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman,
وَاسْتَعِيْنُوْابِالصَّبْرِوَالصَّلَوةِ
Wastaiynuw bishshobri
washsholaat
“Dan carilah pertolongan Allah
dengan sabar dan sholat“ (Qs. Al Baqarah : 45)
Allah Subhana Wa Ta’ala telah memberitahukan bahwa seluruh masalah
baik besar maupun kecil ada penyelesaian nya, yaitu dengan sabar dan sholat.
Menyelesaikan masalah dengan cara sendiri tidak akan selesai, bahkan akan
semakin sulit, namun dengan amal agama akan terasa nikmat. Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wa Sallam diutus untuk menyelesaikan seluruh masalah dengan
amal agama. Dengan iman dan amal yang benar akan mendatangkan qudratullah yang
terbaik.
Asbab apapun selain amal agama tidak akan menyelesaikan masalah,
tetapi menghidupkan amal agama dalam menjalankan sabab, akan menjdai sumber
rezeki dan kejayaan bagi orang yang beriman. Orang beriman ketika mendengar
suara adzan segera memenuhi panggilan Allah Subhana Wa Ta’ala meskipun ia
sedang berdagang, sebab dalam shalat ada kejayaan. Namun bila keyakinan rusak,
timbul perusaan rugi bila datang ke masjid. Berdagang dan bertani untuk mencari
rezeki, tetapi datang ke masjid untuk bertemu dengan yang maha pemberi rezeki.
Apabila umat islam mempunyai keyakinan seperti orang kafir bahwa rezeki hanya
akan datang asbab bekerja, maka ia akan menunda waktu shalatnya.
Orang-orang yang telah tertipu dalam asbab zhulumat ini, beranggapan
bahwa shalat hanya untuk mendatangkan kebahagiaan di akhirat, sedangkan untuk
kebahagiaan di dunia bergantung kepada kebendaan. Padahal Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wa Sallam menjelaskan, bahwa asbab yang paling utama
mendatangkan kejayaan di dunia dan akhirat adalah shalat. Allah Subhana Wa
Ta’ala akan memberikan 5 (lima) jaminan bagi orang yang istiqamah menjaga
shalatnya dengan khusyu wal kudhu, yaitu :
1. Allah Subhana Wa Ta’ala akan menghilangkan kesempitan hidupnya di
dunia dengan memberinya keberkahan dan kemudahan rezeki.
2. Membebaskannya dari azab kubur.
3. Diberikan kitab catatan amal melalui tangan kanannya
4. Akan melintasi Shirat secepat kilat
5. Memasuki jannah tanpa hisab
Asbab yang nampak bukanlah asbab sebenarnya, hanya untuk menunjukan
perintah Allah Subhana Wa Ta’ala. Orang yang menunaikan perintah Allah Subahan
Wa Ta’ala akan mendatangkan qudratullah. Bukan berarti harus meninggalkan asbab
kebendaan itu, tetapi menyempurnakan perintah-Nya ketika menjalankan asbab
kebendaan. Seluruh asbab kebendaan tidak menghalangi dan melalaikan diri kita
dari perintah Allah Subhana Wa Ta’ala. Jika datang perintah Allah Subhana Wa
Ta’ala segera tangguhkan keperluan dunia untuk menyambut seruaa-Nya.
يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْالَاتُلْحِكُمْ اَمْوَالُكُمْ وَلَآاَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِاللهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَاُلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُوْنَ
Yaa ayyuhalladziyna aamanuw laa
tulhikum amwaa lukum walaaa awlaadukum angdzikrillahi wamayyaf’al dzaalika
fauwlaaaika humul khoosiruwn
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.
Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi“ (Qs.
Al Munafiqun : 9)
Ali Radhiallahu Anhu memiliki uang 6 dirham yang semula akan dibelikan
makanan untuk keperluan keluarganya. Kemudian ada pengemis datang dan meminta
uang itu, lalu beliaupun memberikan semuanya. Tidak lama berselang, datang
seseorang membawa unta dan ingin menjualnya kepada Ali. Keduanya sepakat unta
itu seharga 100 dirham dan dibeli oleh Ali dengan pembayaran kemudian. Lalu
seseorang datang membeli unta itu seharga 300 dirham. Lalu Ali membayar harga
unta 100 dirham kepada pemiliknya, dan sisanya 200 dirham dibawa pulang.
Keluarganya bertanya, darimanakah ini? Beliau menjawab, inilah yang dijanjikan
Allah Subhana Wa Ta’ala.
Asbab kebendaan adalah ujian keimanan, apakah dengan asbab itu
seseorang akan lebih mendekatkan diri kepada Allah Subhana Wa Ta’ala atau malah
menjauhkan darinya? Orang sibuk mencari rezeki dan bersusah payah mengerjar
rezekinya, namun bagi orang yang beriman, rezeki akan mendatangi bahkan
mencarinya. Orang mukmin berdagang untuk menjemput rezeki, bukan mencari
rezeki. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,
اِنَّ الرِّزْقَ لَيَطْلُبُالْعَبْدَكَمَايَطْلُبُهُ اَجَلُهُ
Innarrizqo layathlubul abda
kamaa yathlubuhu ajaluh
“Sesungguhnya rezeki itu
benar-benar mencari seseorang hamba, sebagaimana ajal mencarinya“ (Hr. Ibnu
Hibban)
Beramal bukan karena keadaan, sebab orang yang beramal karena keadaan
akan menimbulkan banyak masalah. Melaksanakan perintah Allah Subhana Wa Ta’ala
bukan karena keadaan yang berlangsung atau sesuai dengan keinginan kita, tetapi
beramal semata-mata karena menginginkan keridhaan-Nya bukan kerena janji-Nya.
Seandainya dia tidak menjanjikan jannah dan bidadari, kita tetap menyembah
Allah Subhana Wa Ta’ala sebab jannah dan bidadari adalah makhluk. Sedangkan
kebahagiaan yang paling hakiki adalah keridhaan Allah Subhana Wa Ta’ala ketika
memandang wajahnya di akhirat kelak.
وَرِضْوَانٌ مِّنَاللهِ اَكْبَرُ; ذَالِكَ هُوَالْفَوْزُالْعَظِيْمُ
Wa ridhwanuwm minallahi akbar
dzaalika huwal fauwzul ‘adhiym
“Dan keridhaan Allah adalah
lebih besar, itu adalah keberuntungan yang besar.“ (Qs. At Taubah : 72)
Niat dan yakin itu berbeda. Apabila dunia datang kepada sahabat mereka
menangis. Sebab mereka takut amal mereka tertolak, hanya mendapat ganjaran di
dunia dan tidak mendapatkan apa-apa di akhirat. Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wa Sallam bersabda,
اِنَّاللهَ تَعَالَى لَيُعْطِى الدُّنْيَابِعَمَلِ الْاَخِرَةِ وَلَايُعْطِى الْاَخِرَةُ
Innallaha ta’aalaa layu’thid
dunyaa bi’amalil aakhiroti walaa yu’thil aakhirotu bi’amalid dunyaa
“Sesungguhnya Allah Ta’ala pasti
memberikan keuntungan dunia denga amal akhirat (amal yang diniatkan untuk
mendapatkan akhirat), tetapi tidak memberikan akhirat dengan amal dunia (amal
yang diniatkan untuk mendapatkan dunia semata).“
Allah Subhana Wa Ta’ala memberi asbab kebendaan pada sahabat
Radhiallahu Anhum tetapi mereka semakin sibuk mencari ridha Allah Subhana Wa
Ta’ala, bahkan asbab itu mereka korbankan di jalan Allah Subhana Wa Ta’ala.
Menggunakan asbab untuk mencari ridha Allah Subhana Wa Ta’ala, inilah kejayaan.
Bukan pertanian, perdagangan, atau perkantoran. Namun asbab-asbab itu sekarang
telah dijadikan sarana untuk memenuhi keinginan syahwat. Maka untuk
menghindarinya ada dua hal yang harus diusahakan, yaitu zuhud dan cinta
akhirat. Orang yang mencintai dunia akan berusaha mendapatkan selama 24 jam.
Demikian pula orang yang mencintai Allah Subhana Wa Ta’ala akan bersungguh-sungguh
mencari akhirat, sebagaimana kesungguhan para ahli dunia mengejar keduniaannya.
Anugrah dari Allah Subhana Wa Ta’ala breupa rumah, kendaraan, sawah,
toko dam sebagainya, belum tentu menjadi suatu hasanah (kebaikan). Sebab
hasanah itu adalah tidak mersakan kegelisahan dan kekhawatiran, merasa tenag
dan tentram dalam setiap suasana dan keadaan.
Abu Darda Radhiallahu Anhu mempunyai toko di dekat masjid, keuntungan
selalu ia sedekahkan. Sekalipun setiap hari mendapatkan 300 dinar, beliau
senantiasa khawatir hartanya akan dihisab dan ia tidak mau ketinggalan
takbiratul ‘ula.
رِجَالٌ لَّاتُلْهِيْحِمْ تِجَارَةٌ وَّلَابَيْعٌ عَن ذِكْرِاللهِ وَاِقَامِ الصَّلَوةِ
Rijalul latulhiyhim tijaarotuw
walaa bay’un an dzikrillahi wa iqaamish sholaat
“Laki-laki yang tidak dilalaikan
oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan
(dari) mendirikan shalat.“ (Qs. An Nur : 37)
Para sahabat Radhiallahu Anhum hanya empat puluh hari shalat berjamaah
tanpa ketinggalan takbiratul ‘ula, telah terbebas dari sifat munafik dan azab
kubur. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “barang siapa menjaga
shalatnya selama 40 hari tanpa tertinggal takbiratul’ ula maka ia akan
mendapatkan dua jaminan yaitu :
(1) Dibebaskan dari azab neraka
(2) Dibebaskan dari sifat munafik.”
Tetapi saat ini orang beriman pun bisa menjadi munafik karena tidak
mendakwahkan pentingnya shalat. Mendakwahkan shalat bukan karena orang lain
tidak shalat, tetapi agar Allah Subhana Wa Ta’ala memperbaiki shalat kita. Sebab
selama ini rutinitas shalat yang dilakukannya kosong dari hakikatnya. Mendakwahkan
shalat beukan sekedar mengajak orang lain shalat, tetapi agar hakikat shalat
khusyu wal kudhu wujud dalam diri kita. Jika berdakwah kepada orang yang tidak
shalat dengan dengan niat agar mereka shalat, lalu ia tidak mau mengerjakan
shalat, akan menimbulkan rasa benci dan putus asa yang menghalangi terishlahnya
diri kita.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, bersabda,
مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلَاتُهُ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرْلَمْ يَرْدَدُمِنَ اللهِ الَّا بُعْدً
Mal lam tanhahu sholaatuhu’anil
fahsyaa iwal mungkar lam yar dadu minallahi illaa bu’dan
“Barangsiapa yang shalatnya
tidak dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak akan bertambah
dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh.“ (Hr. Thabrani)
Shalat adalah mi’rajnya orang beriman, menyerahkan seluruh keperluan
hidup kepada Allah Subhana Wa ta’ala dalam segala keadaan, baik dalam keadaan
susah maupun senang,miskin maupun kaya. Setiap saat seluruh makhluk berhajat
kepada Allah Subhana Wa Ta’ala, mata, mulut, telinga, tangan dan kaki juga
berhajat kepada Allah Subhana Wa Ta’ala.
Abdullah Bin Mas’ud Radhiallahu Anhu berkata,
اِحْمِلُوْاحَوَائِجَكُمْ عَلَى الْمَكْتُوْ بَةِ
Ihmiluw hawaaijakum
alalmaktuwbah
“Bawalah hajat-hajat kalian
dalam shalat“
Bila menemukan kesulitan, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan sahabat
Radhiallahu Anhum segera mendirikan sholat dan bersabar dalam ketaatan kepada Allah Subhana
Wa Ta’ala. Ketika kesulitan datang jangan berkata,”Wahai Allah, tolonglah kami!
Kami punya masalah besar.” Tetapi katakanlah, “Wahai seluruh masalah!
Ketahuilah, bahwa aku memiliki Allah Yang Maha Besar. “Allah Subhana Wa Ta’ala
adalah Al Malikul Mulk, yang menguasai segala-galanya. Bila hati tidak terkesan
kepada Allah Subhana Wa Ta’ala maka akan terkesan kepada makhluk hingga akhirnya memuji makhluk.
Melakukan shalat dengan satu keyakinan bahwa seluruh masalah akan
selesai, maka akan di selesaikan oleh Allah Subhana Wa Ta’ala. Jika menginginkan
makhluk berkhidmat, maka harus menghubungi dzat yang menciptakan makhluk.
Selesaikan masalah dengan doa, niscaya Allah Subhana Wa Ta’ala akan
menyelesaikan masalah itu dengan cara-nya sendiri.
Ikhtiar yang pertama adalah dengan amal bukan dengan kebendaan. Nabi
Shallallahu Alaihi Wa Sallam tidak mengajarkan kepada sahabat Radhiallahu Anhum
tentang kebendaan, tetapi hanya dengan amal. Pada saat kelaparan atau sakit
sekalipun, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam tetap menyuruh memperbaiki amal,
dan beliau juga tidak pernah mengajak sahabatnya untuk berdakwah kepada
kebendaan. Walaupun serba kekurangan hingga pakaian hanya sekedar untuk menutup
aurat, tetapi beliau dan sahabat Radhiallahu Anhum tetap menunaikan perintah
Allah Subhana Wa Ta’ala, sehingga Allah Subhana Wa Ta’ala ridha kepada mereka.
Jika Allah Subhana Wa Ta’ala telah ridha,maka seluruh masalah akan selesai.
Banyak orang yang memahami bahwa ia bisa mengambil manfaat dari
khazanah Allah Subhana Wa Ta’ala dengan kebendaan. padahal Allah Subhana Wa
Ta’ala akan membuka khazanah–Nya hanya dengan hukum-Nya, sebagaimana sahabat
menarik qudrat dengan amal, ada sahabat yang di bedah ketika shalat. Jika ada
masalah, apakah kita mencari solusi dengan shalat? Apakah dua rakaat shalat telah
mampu menyelesaikan masalah, ataukah lari kepada asbab?.
Banyak orang beranggapan dengan bekerja keras keperluannya akan
terpenuhi, sehingga mereka menghabiskan waktu, tenaga dan pikirannya untuk bekerja
memenuhi keperluannya. Padahal tanggung jawab memenuhi keperluan seluruh makhluk
adalah urusan Allah Subhana Wa Ta’ala. Manusia di ciptakan oleh Allah Subhana
Wa Ta’ala dan seluruh keperluannya juga telah di ciptakan. Apabila manusia taat
pada perintah-Nya, maka keperluanya akan didatangkan dengan mudah.
وَجَعَلَ لَكُمْ فِيْهَامَعَايِشَ وَمَنْ لَّسْتُمْ لَهُ بِرَازِقِيْنَ
Wa ja'ala lakum fiyhaa ma'aayisya wa mal lastum lahuu birooziqiyn
"Dan kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali kali bukan pemberi rezeki kepadanya." (Qs. Al Hijr : 20)
Suatu kesalahpahaman bila beranggapan bahwa orang yang shalat telah
berjaya, dan orang yang tidak shalat tidak berjaya. Orang yang telah mendirikan
shalat bertanggung jawab kepada orang yang belum shalat. Allah Subhana Wa
Ta’ala mewahyukan kepada Jibril Alaihis Sallam supaya membinasakan suatu kota
dengan pendudukya. Lalu jibril berkata, “Sesungguhnya di dalam kota itu
terdapat seorang hamba yang tidak pernah bermaksiat kepada-Mu sekejap mata pun?” Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman,
“Jika demikian, binasakanlah ia lebih dahulu sebelum yang lain! Karena ia tidak
pernah mengerutkan keningnya (tidak pernah memikirkan dan merisaukan sedikit
pun saudaranya yang belum taat).”
Shalat tidak hanya sekedar mencegah perbuatan keji dan mungkar, tetapi
mengubah kemungkaran dan keburukan menjadi kebaikan. Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman,
اِنَّ الصَّلَوةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ
Innash sholaata tanha 'anil fahsyaaa iwal mungkar
"Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar." (Qs. Al Ankabut : 45)
"Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar." (Qs. Al Ankabut : 45)
Maksiat yang paling besar adalah meninggalkan shalat. Berapa banyak
kemaksiatan yang di lakukan setiap saat dan terjadi di depan mata? Orang yang
mendirikan shalat berarti menegakan agama dan orang yang tidak shalat berarti
meruntuhkan agama. Berapa banyak orang yang menegakkan agama dan berapa banyak
orang yang meruntuhkan agama? Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,
اَلصَّلَا ةُ عِمَادُالدِّيْنِ فَمَنْ اَقَامَهَافَقَدْاَقَامَ الدِّيْنَ وَمَنْ تَرَكَهَافَقَدْهَدَامَالدِّيْنَ
Ash sholaatu 'imaadud diyni faman aqoomahaa faqod aqoomaddiyna wamang tarakahaa faqod hadaa maddiyn
"Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang mendirikan shalat berarti telah mendirikan agama, dan barang siapa yang meninggalkan shalat berarti telah meruntuhkan agama." (Hr. Baihaqi)
"Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang mendirikan shalat berarti telah mendirikan agama, dan barang siapa yang meninggalkan shalat berarti telah meruntuhkan agama." (Hr. Baihaqi)
Dengan mendakwahkan shalat, hakikatnya akan wujud dalam diri kita dan
umat seluruh alam.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,
اَلصَّلَا ةُ عِمَادُالدِّيْنِ وَمِفْتَاحُ كُلِّ خَيْرٍ
Ashsholaatu ‘imaaduddiyni wa
miftaahu kulli khair
“Shalat adalah tiang agama dan
kunci dari segala kebaikan“ (Hr. Thabrani)
0 Comments:
Post a Comment